Hakimi saja aku sebagai seorang gadis yang kekanak-kanakan,
karena kali waktu ini, aku memang seperti ini adanya. Perlu kau ketahui, aku
berdiri sendiri disini adalah bukan sesuatu yang mudah, menghadapi anomali
musim hati yang berat, mengejawantahkan diri sebagai seorang gadis dewasa yang
apik, sungguh terasa sulit. Kesulitan yang dalam sadarku penuh adalah sebuah
keniscayaan dari setiap turunan Hawa. Menjadi dewasa dengan keanggunan bak
kesejukan halimun, adalah sebuah hal yang tak terelakkan oleh gadis manapun.
Hanya saja, aku masih terlalu naif kali ini, dan dirundung kabut tak tentu dari
negeri lain.
Mengertilah, saat aku sedang mengeja bagaimana Tuhan telah
membuatku menjadi lemah, saat aku merasa ini semua terlalu lamban. Hanya
rentang malam yang membuatku menjadi akrab dengan sepi, membuatku sedikit tak
bersahabat dengan terang lampu di sudut ruangmu.
Waktu, aku hanya perlu waktu untuk meniti senyum arif
bijaksana yang terkaburkan oleh sikap kekanak-kanakanku. Aku pun dapat dewasa,
tentu! Tapi apalah arti dewasa jika tanpa perjalanan panjang yang melelahkan
menuju ke arah muara.
Semua ada waktunya dan kuberjanji takkan menentang aliran
waktu namun tak jua ikut terbawa arus olehnya. Setegar batu karang,
seluwes air mengalir. Tidak ada kebahagiaan lain saat ku bisa bahagia
dengan menjadi diriku sendiri. Apa adanya, tidak ada ke naif’an dan kebohongan
seulas senyum basa basi...
Bunga itu masih kuncup, tunggu ia mekar menjadi ayu. Maka kau
tak akan pernah menyesal karena telah bersabar. Sebab, ia tak akan menyalahi
takdir dengan tidak tumbuh menjadi setangkai bunga yang jelita. Seiring musim,
ia akan mekar dengan caranya yang anggun. Kau akan membuktikannya dengan
pandangan yang tak jemu kearahnya.
"Ah kamu bunga
daisy...." aku menyentuhnya dan kemudian tersenyum kembali kearahnya.
(*jemu, ketika orang lain menuntutmu untuk berbah tapi hatimu belum ijinkan perubahan tersebut... Dia berontak, karena dia tak ingin dituntut tapi ingin dituntun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar